AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA
Saudaraku, perlu kita ketahui
bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah
sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran
Islam yang telah ada.
Marilah kita renungkan hal ini pada
firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(QS. Al Ma’idah [5] : 3)
Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu
Katsir rahimahullah- berkata tentang ayat ini, “Inilah nikmat
Allah ‘azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah
menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka pun tidak lagi membutuhkan
agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi
mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah
menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup
para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang
halal adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan
perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
haramkan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)
SYARAT DITERIMANYA AMAL
Saudaraku –yang semoga dirahmati
Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa
diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini
telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.”
(QS. Al Kahfi [18] : 110)
Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat
ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2]
mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara
baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut
tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no.
1718)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan,
“Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini
merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu
bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan
amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah,
pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan
ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang
diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka
perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam,
hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)
Beliau rahimahullah juga
mengatakan, “Secara tekstual (mantuq), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan
dari syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at
maka amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor
syari’at, maka amalan tersebut tertolak.
Dalam sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal
yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu,
syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan
tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu
amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan
tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan
keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum
wal Hikam, hal. 77-78)
Jadi, ingatlah wahai saudaraku.
Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas
dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.
PENGERTIAN BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara bahasa berarti membuat
sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’
Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Hal ini sebagaimana dapat dilihat
dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2]
: 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada
contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ
الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang
membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.”
(QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke
dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al
Majaniy-Asy Syamilah)
[Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah secara istilah yang
paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al
I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي
الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا
المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan
dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at
(ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar